Matapubliknews.com

Kejanggalan Proyek Fiktif Rp14 Miliar: Korupsi Berjamaah di Lingkaran Pejabat Malut?






Maluku Utara  – Desakan terhadap Kejaksaan Tinggi Maluku Utara untuk mengusut tuntas dugaan korupsi proyek fiktif senilai Rp14 miliar semakin menguat. Kasus ini diduga melibatkan mantan Wakil Gubernur Maluku Utara, Al Yasin Ali, yang akrab disapa "Aba Acim", serta Bupati Halmahera Barat, Jems Uang, dan Kepala Dinas Pendidikan Halmahera Barat, Rosberi Uang. Investigasi mendalam menemukan indikasi kuat adanya aliran dana proyek fiktif yang bersumber dari Dinas Pendidikan Halmahera Barat, yang melibatkan jaringan terstruktur antara pejabat dan kontraktor.

Menurut keterangan dari seorang narasumber yang dapat dipercaya, kasus ini bermula dari "balas jasa" politik. Saat mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Maluku Utara, Al Yasin Ali menerima dukungan materi sebesar Rp20 juta dari seorang kontraktor bernama Hartanto. Donasi ini diberikan dalam dua tahap, yaitu transfer Rp10 juta dan penyerahan tunai Rp10 juta. Setelah Al Yasin Ali memenangkan pemilihan, ia menepati janji untuk mengganti bantuan tersebut.
Hartanto lantas dipanggil dan ditawari proyek senilai Rp5 miliar sebagai bentuk terima kasih. Al Yasin Ali, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur, memberi keleluasaan kepada Hartanto untuk memilih paket proyek, baik jalan maupun pengadaan sekolah. Merasa memiliki keahlian di bidang pendidikan, Hartanto memilih paket pengadaan di Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Barat.

Namun, hasil investigasi di lapangan menemukan bahwa proyek tersebut adalah fiktif. Anggaran proyek pengadaan senilai Rp3,4 miliar tersebut diduga kuat dijarah oleh Bupati Halmahera Barat, Jems Uang, dan adik kandungnya, Kepala Dinas Pendidikan, Rosberi Uang. Ironisnya, meskipun dana proyek sudah cair, tidak ada bukti pekerjaan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah yang menjadi target proyek tersebut.

Praktisi Hukum, Syafridhani, S.H., M.Kn., menegaskan bahwa kasus ini harus diusut tuntas. Mengutip Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Putusan MK Nomor 25/PUU XIV/2016, Syafridhani menjelaskan bahwa setiap orang yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi dari jabatannya dapat dipidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Syafridhani mendesak agar kasus ini segera dilimpahkan ke Kejaksaan Agung karena melibatkan pejabat aktif. Ia khawatir jika penanganan kasus hanya sampai di Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, akan terjadi "main mata" yang berujung pada dihentikannya kasus. "Tidak ada yang kebal hukum di muka bumi ini," tegas Syafridhani. "Seorang menteri dan wakil menteri saja bisa ditindak, apalagi hanya sekelas bupati, kepala dinas, dan kontraktor."
Hartanto, sang kontraktor, juga diduga menerima proyek kedua senilai Rp9 miliar. Namun, hingga saat ini, pekerjaan dari anggaran tersebut masih misterius. 

Tim investigasi telah berusaha menghubungi Hartanto, Jems Uang, dan Rosberi Uang, tetapi mereka tidak memberikan respons dan bahkan memblokir nomor awak media.
Kasus ini menunjukkan adanya dugaan kejahatan korupsi yang terstruktur dan sistematis, di mana jabatan dan kekuasaan digunakan untuk merampok uang negara secara berjamaah. Tim investigasi Matapublik.Com mengklaim memiliki bukti rekaman hidup dari Hartanto yang dapat mengungkap seluruh kronologi kasus ini.

Disclaimer Berita:
Berita ini merupakan hasil investigasi jurnalisme dan belum merupakan putusan hukum final. Semua pihak yang disebutkan dalam berita ini dilindungi oleh asas praduga tak bersalah. Proses hukum sepenuhnya berada di tangan aparat penegak hukum.)





Type and hit Enter to search

Close