Matapubliknews.com

" Perempuan dalam Mimbar Digital "‎


‎Oleh : Melsa Mendyana

‎Perkembangan teknologi digital, jika dahulu dakwah identik dengan mimbar masjid, dan panggung tabligh akbar yang sebagian besar dikuasai laki-laki, kini “mimbar” itu telah melebar ke layar ponsel. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menciptakan ruang baru yang lebih cair dan terbuka bagi siapa saja termasuk perempuan untuk tampil sebagai penyiar Islam. Fenomena ini tidak hanya menandai perubahan medium, tetapi juga memantik diskusi kritis mengenai representasi gender, otoritas keagamaan, dan dinamika kuasa dalam ruang digital.


‎Mimbar Digital = Ruang Baru bagi Perempuan, Media sosial telah menantang batas yang selama ini membatasi perempuan. Di banyak komunitas, perempuan sering dihadapkan pada regulasi sosial yang membatasi otoritas mereka dalam menyampaikan ajaran Islam. Namun, platform digital menawarkan karakteristik berbeda. Akses yang demokratis tidak ada struktur hirarkis atau institusi yang harus disetujui untuk “naik mimbar”. Kepemilikan penuh atas konten, Perempuan memiliki kontrol atas bentuk, gaya, dan isu yang dibahas. Jangkauan luas dan lintas batas, sebuah video pesan religius dapat menjangkau ratusan ribu orang dalam hitungan menit.


‎Fenomena ini terlihat dari munculnya para pendakwah perempuan muda yang aktif berbicara mengenai akhlak, relasi gender, kesehatan mental, hingga kritik sosial berbasis nilai Islam. Tantangan Otoritas Keagamaan, Apakah Perempuan Sah Sebagai Penyiar Islam? Keberadaan perempuan dalam mimbar digital memunculkan pertanyaan lama yang terus berulang, siapa yang berhak menafsirkan dan menyampaikan ajaran Islam? Dalam tradisi klasik, otoritas keagamaan, ulama, dan dai lebih banyak didominasi laki-laki. Namun, wacana kesetaraan gender dalam ilmu keislaman yang diperjuangkan tokoh seperti Amina Wadud mengkritik struktur patriarkal tersebut.


‎Menurutnya, perempuan memiliki otoritas setara dalam memahami dan mengajarkan Islam karena kapasitas moral dan intelektual manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Munculnya pendakwah perempuan digital memperlihatkan aktualisasi gagasan ini. Namun tantangannya tetap besar mereka kerap dituduh “kurang layak” atau “tidak pantas” tampil di ruang publik. Komentar seksis dan standar ganda sering ditujukan kepada mereka, terutama terkait penampilan. Otoritas keagamaan formal kadang meremehkan dakwah digital karena dianggap kurang ilmiah.


‎Ketegangan ini memperlihatkan bahwa mimbar digital bukan hanya ruang spiritual, tetapi juga arena perebutan kuasa simbolik. Media Sosial dan Politik Representasi Tubuh Perempuan Salah satu isu paling krusial adalah bagaimana tubuh perempuan direpresentasikan. Di satu sisi, media sosial membuka ruang ekspresi, di sisi lain, ia memproduksi objektifikasi baru. Pendakwah perempuan sangat rentan terhadap:

‎komentar mengenai penampilan, bukan substansi dakwah.


‎tekanan untuk tampil “ideal” sesuai standar kecantikan digital

‎Narasi Keagamaan, Dari Dogmatis ke Dialogis, Perempuan pendakwah di media sosial cenderung menghadirkan gaya penyampaian yang lebih dialogis, empatik, dan dekat dengan pengalaman sehari-hari. Pendekatan ini menggeser penyiaran Islam dari pola ceramah satu arah menuju percakapan dua arah seperti kolom komentar berubah menjadi ruang musyawarah, curhat, bahkan konseling spiritual.


‎Fenomena ini sejalan dengan paradigma pembangunan manusia ala Robert Chambers, yang menekankan pentingnya “voice” dan partisipasi kelompok marjinal. Dalam konteks dakwah digital, perempuan justru menjadi motor partisipasi karena mampu membuka diskusi-diskusi yang selama ini kurang dibicarakan, seperti relasi rumah tangga, kesehatan mental perempuan muda, hingga kekerasan berbasis gender.

‎Resistensi dan Aktivisme Dakwah sebagai Upaya Pembebasan Tak sedikit pendakwah perempuan yang menggunakan platform digital untuk mendorong kesadaran kritis mengenai ketidakadilan gender.


‎Mereka mengangkat isu seperti pelabelan perempuan yang bias moral, romantisasi poligami, normalisasi kekerasan domestik, stereotip peran domestik yang membatasi ruang gerak perempuan.


‎Dalam perspektif Mansour Faqih, fenomena ini dapat dipahami sebagai dakwah pembebasan, yakni upaya menantang struktur sosial yang menindas melalui pemberdayaan dan kesadaran kritis. Dengan kata lain, media sosial bukan hanya arena dakwah normatif, tetapi juga arena perjuangan ideologis bagi kesetaraan gender dalam Islam. Media sosial telah membuka akses, membongkar batas-batas lama, dan memunculkan figur-figur baru yang membawa warna berbeda dalam dakwah. Namun ruang digital tetap sarat tantangan, Fenomena ini memperlihatkan bahwa perubahan teknologi selalu berkaitan dengan perubahan sosial. Dan dalam konteks dakwah, munculnya pendakwah perempuan digital bukan hanya perubahan media, tetapi juga perubahan paradigma dari patriarki menuju partisipasi, dari dominasi menuju dialog, sehingga menumbuhkan kesadaran kritis.


‎Penulis : Melsa Mendyana






Type and hit Enter to search

Close