Penulis : Melsa Mendyana
Fenomena glass ceiling merupakan salah satu isu sentral dalam studi gender dan organisasi. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Hymowitz dan Schellhardt (1986) untuk menggambarkan adanya hambatan tidak kasat mata yang mencegah perempuan naik ke posisi kepemimpinan tertinggi, meskipun mereka memiliki kualifikasi dan pengalaman yang memadai.
Peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan dan dunia kerja belum berbanding lurus dengan representasi mereka pada posisi strategis, baik di publik maupun privat.
Perempuan berpendidikan tinggi semakin meningkat dan partisipasi mereka di dunia kerja kian besar, kenyataannya posisi puncak masih didominasi laki-laki.
Fenomena ini dikenal dengan istilah glass ceiling sebuah batas tak terlihat yang membuat perempuan sulit bergerak ke jenjang kepemimpinan tertinggi meskipun secara kemampuan dan kualifikasi mereka setara. Batas ini bukanlah hambatan eksplisit yang tertulis dalam aturan formal, tetapi muncul melalui praktik sosial, budaya organisasi, dan bias sistemik yang terus berlangsung dari masa ke masa.
Di banyak institusi, perempuan dapat mencapai level menengah, tetapi ketika menyangkut posisi pengambil keputusan seperti CEO, direktur utama, kepala departemen, atau pimpinan strategis lainnya jumlah perempuan jauh lebih sedikit. Kesenjangan ini bukan semata-mata akibat kurangnya kompetensi perempuan, tetapi lebih berkaitan dengan struktur kerja yang belum berpihak dan budaya sosial yang masih bias.
Di Indonesia, situasinya tidak jauh berbeda. Walaupun banyak perempuan sukses dan berprestasi di dunia akademik, kesehatan, pendidikan, maupun sektor publik, representasi perempuan pada posisi puncak tetap minim. Inilah yang membuat glass ceiling menjadi isu gender yang tetap relevan hingga hari ini.
Faktornya, budaya patriarki yang masih kuat menciptakan stereotip bahwa laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin, lebih rasional, dan lebih tegas. Sebaliknya, perempuan kerap diasosiasikan dengan sifat emosional, lembut, atau kurang berani mengambil risiko padahal karakteristik tersebut tidak dapat disamaratakan dan tidak menentukan kualitas kepemimpinan. Norma sosial tentang beban domestik juga menciptakan hambatan besar. Perempuan sering harus menjalani double burden, bekerja di ranah publik sekaligus mengurus keluarga di ranah domestik. Beban tambahan ini menyebabkan waktu dan energi mereka terbatas, yang akhirnya mempengaruhi peluang mereka naik jabatan.
Menariknya, sebagian hambatan juga muncul dari internalisasi stereotip gender. Banyak perempuan mengalami impostor syndrome, merasa tidak cukup kompeten meski memiliki prestasi memadai. Keraguan ini tidak terjadi secara alami, tetapi terbentuk dari lingkungan sosial yang terus-menerus meremehkan kapasitas perempuan.
Perempuan juga sering enggan tampil terlalu ambisius karena takut distigma “tidak feminim”, “galak”, atau “tidak ramah”. Sementara laki-laki yang tegas dianggap kuat, perempuan yang tegas justru dianggap bermasalah. Pola penilaian ganda seperti ini membuat perempuan harus berjalan di garis tipis antara menjadi pemimpin sekaligus menjaga persepsi publik.
Dampaknya bukan hanya dirasakan perempuan, tetapi juga organisasi dan masyarakat. Perusahaan kehilangan potensi kepemimpinan yang beragam, padahal riset menunjukkan bahwa keberagaman gender meningkatkan inovasi, kualitas keputusan, hingga performa perusahaan. Bagi perempuan sendiri, glass ceiling berarti kesempatan karier yang tidak setara, serta semakin lebarnya ketimpangan upah antara laki-laki dan perempuan.
Menghapus glass ceiling bukan tugas perempuan semata, tetapi tanggung jawab kolektif. Perusahaan perlu membentuk sistem promosi yang transparan dan bebas bias, menyediakan pelatihan kepemimpinan untuk perempuan, serta memberikan dukungan kerja yang lebih ramah keluarga. Budaya organisasi pun harus berubah, dari yang maskulin dan hierarkis menjadi lebih inklusif. Secara sosial, stereotip gender perlu dihapus melalui pendidikan, media, dan kampanye publik. Laki-laki juga perlu terlibat aktif dalam mendukung kesetaraan gender, termasuk berbagi beban domestik dan mengadvokasi ruang kerja yang adil.
Bagi perempuan, membangun jaringan, meningkatkan kepercayaan diri, dan melawan impostor syndrome dapat menjadi langkah penting. Namun, perubahan personal tidak akan efektif tanpa perubahan struktural dan kultural. upaya menghapus glass ceiling harus dilakukan secara simultan pada tingkat individu, institusi, dan masyarakat. Kesetaraan gender bukan sekadar isu keadilan, tetapi merupakan fondasi penting bagi efektivitas organisasi dan kemajuan pembangunan.
"Glass Ceiling: Mengapa Perempuan Sulit Menembus Posisi Puncak? "
Penulis : Melsa Mendyana
Redaktur : Aconk Kupluk


Social Footer