Matapubliknews.com

Sorotan Tajam Dugaan Korupsi Dana Desa Jere Tua, Kejaksaan Halut Dituntut Tumpas 'Raja Kecil' Otoriter





**Halut, Maluku Utara** – Kisah miris pengelolaan Dana Desa (DD) di Desa Jere Tua, Kecamatan Galela Utara, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), menjadi alarm bahaya bagi penegakan hukum di Maluku Utara. Dana Miliar Rupiah yang seharusnya menyejahterakan warga, diduga kuat telah dirampok dan disalahgunakan secara sistematis oleh oknum Kepala Desa, **Halim Kahe**, dan perangkatnya.

Tim investigasi lapangan melaporkan bahwa anggaran Dana Desa tahun 2025 yang mencapai sekitar **Rp1.058.674.902,20** (termasuk DD dan ADD), nyaris tak meninggalkan jejak pembangunan yang signifikan. Sejumlah proyek fisik yang dianggarkan, seperti pemeliharaan saluran air senilai **Rp116 Juta**, disorot karena dikerjakan 'asal-asalan' dengan kualitas jauh di bawah standar, bahkan diduga tumpang tindih dengan bekas proyek PNPM Mandiri.

Dugaan penyelewengan ini diperparah dengan temuan mengenai arogansi kepemimpinan. Kantor desa, yang seharusnya menjadi pusat pelayanan publik, dikabarkan "mati suri" atau hanya aktif saat mendekati proses pencairan dana. Parahnya lagi, proses Musrembangdes yang wajib melibatkan masyarakat, diindikasikan hanya formalitas, bahkan warga yang mempertanyakan kejelasan anggaran mendapat ancaman.

Salah satu narasumber mengutip pernyataan Kepala Desa yang bersifat intimidatif:

"Kalau kami masyarakat bertanya, Pak Halim Kahe menjawab dengan nada menekan: **'Kalian masyarakat tidak perlu masuk campur urusan kami yang ada di pemerintah desa, karena yang Kepala Desa itu di sini adalah saya. Kalau kalian tidak dengar, jangan harap kalian akan mendapatkan bantuan BLT dan bantuan-bantuan lain dari desa."

Indikasi nepotisme juga mencuat, di mana banyak perangkat desa merupakan sanak-saudara Kepala Desa, menciptakan lingkungan kerja yang rentan terhadap praktik Kolusi dan Kronisme.

Praktisi Hukum ternama, **Oktovianus Leki, S.H.**, geram atas temuan ini. Ia menilai perilaku Kepala Desa tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi melanggar sejumlah regulasi.

**Oktovianus Leki, S.H.,** mendesak agar praktik "Raja Kecil" di tingkat desa segera dihentikan oleh aparat penegak hukum.

"Prinsip transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati dalam pengelolaan Dana Desa, sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2014. Uang rakyat yang digelontorkan negara ini, bukan ATM pribadi Kepala Desa. Ancaman tidak mendapat BLT adalah bentuk intimidasi yang keji dan merupakan indikasi kuat adanya upaya menutupi penyimpangan anggaran. Kepala Desa harus ingat, anggaran itu harus diputuskan bersama masyarakat, bukan otoritas tunggalnya."

Leki secara khusus menyoroti kegagalan DPMD dan Inspektorat Halut dalam menjalankan fungsi pengawasan, sehingga masyarakat desa kehilangan kepercayaan.

"Kami tidak lagi menaruh harapan pada DPMD dan Inspektorat Halut yang terkesan 'buta' dan 'tuli' terhadap penderitaan rakyat. Bola panas ini sekarang ada di tangan Kejaksaan Negeri Halmahera Utara. Bukti fisik 'abal-abal', anggaran yang dipublikasikan janggal, dan intimidasi terhadap masyarakat sudah lebih dari cukup untuk Kejaksaan bertindak. Kejaksaan tidak perlu menunggu laporan dari masyarakat yang sudah tertekan dan ketakutan. Jika terbukti ada korupsi dan penyalahgunaan wewenang, **UU Tipikor** menanti. Kami tegaskan: Kejaksaan Halut, jangan cuma jadikan kantor desa itu 'bangunan pajangan', segera turun dan tumpas tuntas dugaan rampok anggaran ini!"

Leki mengingatkan bahwa penyalahgunaan Dana Desa merupakan tindak pidana korupsi serius yang diancam hukuman berat, dan meminta Kejaksaan untuk menunjukkan kinerja nyata agar kepercayaan publik terhadap lembaga hukum kembali pulih.


Reporter : Dodi H Nay





Type and hit Enter to search

Close